Mahasiswa pribumi memperingati Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2013
Wajah pendidikan Indonesia tak ubahnya seperti sebuah topeng. Pendidikan di Indonesia belum menemukan wajah aslinya, terus melakukan pergantian tahun demi tahun. Alih-alih melakukan perubahan yang lebih baik, perubahan tersebut malah semakin menyulitkan masyarakat, baik itu yang terkait langsung dengan pendidikan maupun yang tidak. Banyak guru yang mengeluhkan bahwa sistem pendidikan yang berubah tiap tahunnya mempersulit dan tidak memberikan dampak yang efektif. Hasilnya ya seperti itu itu saja, yang berubah hanya statistik angka saja, tidak pada kualitasnya. Siswa juga menjadi bingung ketika dia harus menyesuaikan diri dengan kurikulum yang dirombak terus setiap tahunnya, padahal metode yang digunakan ya seperti itu itu saja, guru mengajar, murid mendengar, tugas, ujian, dan sebagainya. Sangat klasik.
Wajah pendidikan Indonesia tak ubahnya seperti sebuah topeng. Pendidikan di Indonesia belum menemukan wajah aslinya, terus melakukan pergantian tahun demi tahun. Alih-alih melakukan perubahan yang lebih baik, perubahan tersebut malah semakin menyulitkan masyarakat, baik itu yang terkait langsung dengan pendidikan maupun yang tidak. Banyak guru yang mengeluhkan bahwa sistem pendidikan yang berubah tiap tahunnya mempersulit dan tidak memberikan dampak yang efektif. Hasilnya ya seperti itu itu saja, yang berubah hanya statistik angka saja, tidak pada kualitasnya. Siswa juga menjadi bingung ketika dia harus menyesuaikan diri dengan kurikulum yang dirombak terus setiap tahunnya, padahal metode yang digunakan ya seperti itu itu saja, guru mengajar, murid mendengar, tugas, ujian, dan sebagainya. Sangat klasik.
Menurut penilaian dari firma pendidikan Pearson, sistem pendidikan di Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia. Rendahnya nilai yang didapat adalah karena rendahnya kualitas guru dan rendahnya kompetisi global. Tenaga guru yang bekerja di Indonesia dianggap memiliki kualitas yang rendah, namun dibayar dengan harga yang tinggi. Pemerintah menggelontorkan dana besar untuk belanja pegawai namun pengeluaran tersebut tidak sebanding dengan apa yang diharapkan terjadi. Rendahnya kualitas guru, serta minimnya fasiltas pendidikan membuat daya kompetisi global siswa menjadi rendah. Jika dibanding negara lainnya, seperti negara tetangga Malaysia dan Singapura, kualitas produk pendidikan Indonesia jauh lebih rendah.
Meskipun pembaharuan terus dilakukan, tetapi pembaharuan tersebut malah memperumit apa yang sudah rumit. Jika perubahan dilakukan setiap tahun, apa yang terjadi jika civitas akademika tidak dapat beradaptasi? Pendidikan kacau, pelaksanaan carut marut, evaluasi tidak jelas. Yang terbaru adalah soal paket UN yang dibuat dua puluh paket. Ide yang sangat bagus untuk meningkatkan daya saing siswa dengan menekankan kejujuran. Namun aparatur pelaksananya tidak memiliki cukup kesiapan untuk melakukan itu. Alhasil banyak kasus terkait soal ujian seperti lembar soal yang terlambat datang dan kekurangan soal.
Soal UN sudah tidak lagi angker, coy dokumen rahasia milik negara di foto kopi.
ada ada aja.
:D
No comments:
Post a Comment